Banda Aceh | JRB.ONE – Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia 2025 yang mempertanyakan apakah seluruh gaji guru dan dosen harus ditanggung oleh uang negara, memicu respons keras dari kalangan mahasiswa. Bagi mereka, ucapan tersebut merupakan sinyal berbahaya bahwa negara hendak menggeser tanggung jawab konstitusionalnya kepada masyarakat.
Pasal 31 UUD 1945 dengan tegas menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan pemerintah wajib membiayainya. Kewajiban itu mencakup pemenuhan kesejahteraan guru dan dosen sebagai ujung tombak pendidikan nasional. Mempertanyakan hal tersebut, bagi mahasiswa, sama saja meremehkan amanat konstitusi.
Sekretaris Kabinet Dema FSH, M. Ikram Al Ghifari, menyebut pernyataan tersebut sebagai bentuk retorika yang berpotensi mereduksi kewajiban negara.
"Pendidikan bukan proyek CSR, dan guru-dosen bukan relawan kemanusiaan yang nasibnya bergantung belas kasih donatur. Negara dibangun untuk menjamin hak rakyatnya, bukan untuk melempar tagihan ke masyarakat. Kalau APBN bisa jor-joran triliunan untuk proyek mercusuar dan penyelamatan BUMN, kenapa kesejahteraan pendidik selalu jadi bahan diskusi, bukan keputusan?” ujarnya, Sabtu (9/8/2025).
Ikram menegaskan, gaji guru dan dosen bukan sekadar angka di laporan keuangan negara, melainkan cermin penghormatan terhadap profesi yang membentuk masa depan bangsa. Ia menilai, mengandalkan filantropi atau sumbangan masyarakat sebagai sumber utama pendanaan justru akan menjerumuskan pendidikan ke dalam ketidakpastian.
"Partisipasi publik itu penting, tapi sifatnya pelengkap, bukan pengganti. Mengaburkan kewajiban negara untuk membayar pendidiknya adalah pengkhianatan terhadap amanat UUD 1945,” tegasnya.
Menurut Ikram, pemerintah seharusnya memandang pendidik sebagai aset strategis bangsa. Banyak negara maju menempatkan guru dan dosen sebagai prioritas anggaran, bahkan di tengah krisis ekonomi, karena menyadari pendidikan adalah investasi jangka panjang yang hasilnya menentukan daya saing negara.
Ikram juga menyoroti ketimpangan prioritas anggaran di Indonesia. Proyek infrastruktur raksasa sering mendapat alokasi dana besar, sementara isu kesejahteraan guru dan dosen kerap tertinggal dalam daftar prioritas.
“Ini soal keberpihakan, bukan semata kemampuan fiskal. Jika negara serius membangun peradaban, investasi pertama harus pada manusia, guru dan dosennya bukan hanya pada beton dan baja,” jelasnya.
Ia menutup pernyataannya dengan desakan keras agar pemerintah mereformasi kebijakan anggaran pendidikan, memastikan gaji pendidik yang layak, dan menghentikan retorika yang bisa melemahkan komitmen negara.
“Negara harus membayar penuh harga untuk masa depan bangsanya. Pendidikan adalah hak, bukan beban; kewajiban, bukan pilihan; dan guru serta dosen adalah prioritas, bukan pelengkap,” pungkas Ikram.[Syahrul]