CISAH Sebut Meurah Silu bukan Sultan Al-Malik Ash-Shalih, Pada Kuliah Umum Di FISIP UNIMAL

 


Lhokseumawe | JRB.ONEFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Malikussaleh bekerja sama dengan Center for Information of Sumatra Pasai Heritage (CISAH) menggelar Kuliah Umum bertajuk “Reviving the Spirit of Sumatra Pasai: Governance, Heritage, and the Future of Local Wisdom” atau “Dari Warisan Menuju Tata Kelola, Membangun Masa Depan dengan Kearifan Sejarah”.

Kegiatan ini menghadirkan Sukarna Putra, peneliti dari CISAH yang juga dikenal sebagai penggiat sejarah dan kurator Museum Islam Samudra Pasai.

Dalam sambutannya, Dr. Teuku Zulkarnain, S.E., M.M., Ph.D., Dekan FISIP Universitas Malikussaleh menekankan pentingnya menggali nilai-nilai tata kelola yang telah lama hidup dalam peradaban Islam Samudra Pasai, sebagai salah satu kerajaan Islam tertua di Asia Tenggara. “Semangat Samudra Pasai bukan hanya sejarah, tetapi warisan nilai yang dapat dijadikan dasar dalam membangun tata kelola pemerintahan yang berperadaban,” ujarnya.


Sukarna Putra yang menjadi pemateri tunggal menyoroti perlunya generasi muda memahami sejarah lokal sebagai bagian dari identitas dan arah pembangunan masa depan. “Kearifan sejarah adalah fondasi untuk memahami diri dan membangun masa depan yang berakar pada nilai-nilai Islam” ungkapnya.

Sungguh sangat miris, kurun se-abad terakhir telah berkembang literasi yang sengaja dibuat untuk menjatuhkan marwah sang sultan, seperti diceritakan oleh Hikayat Raja-raja Pasai atau Kronika Pasai :

Malikussaleh adalah Meurah Silu. Ayahnya adalah anak angkat Raja Ahmad, penguasa negeri di balik rimba, sehari perjalanan dari Samarlanga (?). Raja Ahmad menemukan putera angkatnya itu diasuh dan hidup dalam kawanan gajah sehingga diberi nama dengan Meurah Gajah. Ibunya adalah anak angkat Raja Muhammad, penguasa Samarlanga (?). Puteri berparas cantik itu ditemukan oleh Raja Muhammad dari dalam semak-semak rumpun bambu, sehingga dinamakan dengan Puteri Betung.

Setelah ayah-ibu serta kakek-kakeknya dari kedua belah pihak tewas dalam suatu tragedi berdarah, Meurah Silu dan saudaranya, Meurah Hasum, pindah ke negeri Biruan. Masa muda Meurah Silu dihabiskan untuk menjinakkan kerbau liar dan menyambung ayam. Ia juga pernah mau makan cacing karena dalam bubunya hanya masuk cacing- cacing. Setelah dimasak cacing-cacing itu ternyata berubah menjadi emas dan buihnya menjadi perak.

Jagoan sambung ayam yang kononnya dermawan itu kemudian diangkat menjadi raja. Ia memerangi dan terus membuntuti Meugat Nazar karena tidak setuju merajakannya. Setelah Meugat Nazar dikalahkan, Meurah Silu membuka sebuah negeri yang diberinama dengan Samudera, artinya semut besar, sebab ketika itu ia melihat seekor semut sebesar kuncing lalu ditangkap dan dimakannya!

Suatu ketika, setelah ia menjadi raja berkuasa di Samudera, seorang dari Makkah bernama Syaikh Ismail datang ke Samudera hendak mengislamkan penguasa negeri bawah angin dan rakyatnya. Tapi Syaikh ini menemukan Meurah Silu sudah dapat melafalkan syahadat dan membaca Al-Qur’an lantaran sebelumnya ia sudah bermimpi Nabi [saw.] meludahi ke dalam mulutnya, rasanya lemak manis! Dan kemudian ia bergelar atau berganti nama menjadi Malikussaleh.

Atas petunjuk ahli nujum, Malikussaleh memilih Puteri Ganggang Sari, puteri Raja Peurlak dari gundiknya, untuk menjadi permaisuri. Dari perkawinan itu, ia diberkahi seorang putera yang diberi nama Malikul-Zahir. Kepada puteranya ini, Malikussaleh menyerahkan negeri Pasai yang baru saja dibukanya. Yakni sebuah negeri yang dibuka karena di tempat tinggi itu anjingnya yang bernama Pasai berpeluk-pelukan dengan seekor pelanduk berani. Dan lantaran si Pasai kesayangannya mati di tempat itu, ia pun menamakan negeri tersebut dengan Pasai!  

Setelah Malikussaleh meninggal dunia, cucu-cucu keturunannya dilanda berbagai tragedi disebabkan nafsu angkara murka sampai dengan nata Majapahit menguasai Pasai, dan pemerintah terakhir Pasai, Raja Ahmad, lari ke negeri Menduga (?).

Cerita yang mengagumkan bukan ?

Itulah Malikussaleh yang namanya hari ini banyak diabadikan untuk nama-nama lembaga pendidikan atau lainnya. Itulah riwayat Malikussaleh yang dituturkan kepada masyarakat Aceh dan luar Aceh selama lebih setengah abad yang lalu dalam bentuk hikayat atau legenda. Demikian lamanya sudah dituturkan sehingga banyak orang meyakini hikayat itu sebagai sejarah Malikussaleh dan Samudra Pasai-nya, dan itu seolah tidak bisa diganggu gugat lagi! Malah, ada sebagian guru yang mendampingi murid-murid mereka berkunjung ke situs-situs sejarah di Samudra Pasai meminta “tukang cerita” supaya tidak mengubah “sejarah” Samudra Pasai ke versi lain. Guru-guru itu mungkin ingin menumbuhkembangkan daya imajinasi murid-murid supaya kelak dapat menyutradai sinetron-sinetron konyol atau merancang iklan-iklan yang sama konyolnya,

Padahal, siapa pun dapat menambah, mengurang, berinovasi atas nama hikayat atau legenda ini. Sebab, Hikayat Raja- raja Pasai atau Kronika Pasai yang ringkasan isinya seperti tadi tidak jelas siapa penulisnya, masa penulisan, bukti-bukti kebenaran isinya. Tidak ada. Yang ada hanya kata empunya cerita. Siapa empunya cerita?! Tidak ada yang tahu.

Satu-satunya penanggalan yang terdapat dalam manuskrip Hikayat adalah tarikh penyalinan naskah yang konon ditemukan T. S. Raffles di Demak, daerah Bogor, milik Bupati Sepuh, Kiai Suradimenggala. Manuskrip tersebut hanya satu-satunya yang ada di dunia ini, dan tersimpan di Royal Asiatic Society, London, sejak 1839.

Bukannya Hikayat ini tidak menyimpan kebenaran sama sekali tapi hal itu sangat perlu untuk diuji, disaring dengan saringan yang halus. Bahan-bahan ilmiah lain yang lebih akurat dan autentik dibutuhkan sebagai bandingan untuk menemukan kebenaran.

Secara umum, bagi seorang yang telah pernah mendalami sejarah kebudayaan Islam serta mengenal karateristik yang membedakannya dengan berbagai sejarah lain, dapat langsung mengetahui bahwa hikayat Raja-raja Pasai bukanlah sejarah Islam dalam arti sesungguhnya. Malah bisa dikatakan, telah ditulis oleh tangan yang sebenarnya tidak begitu memahami Islam. Misal saja, hadits palsu (maudhu’) yang dicantumkan dalam pembukaan bab II Hikayat: kata Nabi, “Bahwa ada sepeninggalku itu ada sebuah negeri di bawah angin Samudera namanya. “Apabila ada didengar kabar negeri itu maka kami suruh kamu sebuah kapal membawa perkakas dan kamu bawa ia orang dalam negeri masuk dalam agama Islam serta mengucapkan dua kalimat syahadat…”

Bagi kaum imperialisme Barat, beredar dan populernya cerita-cerita (pseudo-sejarah) semacam ini di kalangan masyarakat Islam suatu hal yang sebenarnya sangat menguntungkan mereka. Cerita-cerita itu tidak akan pernah mengilhami masyarakat Islam untuk melawan penjajahan. Wajar bila suatu ketika di masa hidupnya, Almarhum Professor A. Hasjmy berang. “Sejarah yang disusun penjajah racun bagi kita!” tukasnya dalam sebuah tulisan.


Tidak tanggung-tanggung, Hasjmy mengklaim bahwa isi hikayat seperti di atas, yang kemudian dinamakan dengan sejarah Islam, itu telah ditulis oleh kaki tangan kaum penjajah dengan maksud menjatuhkan martabat Malikussaleh di mata pemuda-pemudi bangsa. “Padahal beliau,” terangnya lagi, “adalah mujahid dan pahlawan yang terbesar pada zamannya.

Kini, generasi baru yang berhadapan dengan tantangan-tantangan baru dunia, memerlukan sejarah yang lebih inspiratif untuk bertahan dalam badai globalisasi yang memusnahkan jati diri yang sebenarnya lebih luhur dan manusiawi. Sudah waktunya, dengan demikian, untuk menggali kembali keaslian sejarah yang terkubur dalam lapisan zaman agar tidak terputus dengan akar di masa lalu dan tahu dari mana harus menyambung peran. 

Memahat Keagungan

Nisan Al-Malik Ash-Shâlih atau Al-Malikush-shâlih—demikian pengucapan yang benar dan diterima dalam cita rasa Muslim—dari sisi struktur materilnya: bahan baku, ornamen, relief, kaligrafi dan pilihan ayat-ayat Al-Qur’an yang diukir, memiliki kecenderungan cita rasa seni Islam di era kesultanan Aceh Darussalam. Yakni, seni yang secara kontras memunculkan suatu assimilasi budaya masyarakat pra-Islam di utara Sumatera dengan nilai-nilai Islam yang universal.

Dari sini terbuka kemungkinan, nisan Al-Malik Ash-Shâlih yang terdapat di gampong Beuringen, Samudera, Aceh Utara, hari ini adalah pengganti nisan asli. Penggantian itu barangkali dilakukan dalam masa awal era Aceh Darussalam di abad ke-16 M. Hal ini juga didukung oleh satu kenyataan paleografi yang menunjukkan bahwa ketika dilakukan pemahatan ulang inskripsi yang mengungkapkan tentang pemilik makam (Al-Malik Ash-Shâlih), pemahat melakukan dua kekeliruan, yang mungkin untuk waktu itu, dianggap bisa dimaafkan.

Pada pemahatan kalimat Al-Mulaqqab Sulthân Malik Ash-Shâlih (yang digelar Sultan Malik Ash-Shâlih) terdapat satu kekeliruan menyalahi kaidah bahasa Arab: kata malik ditulis tanpa diawali alif-lâm yang seharusnya ada seperti terdapat pada inskripsi nisan-nisan Muhammad Al-Malik Azh-Zhâhir, Nahrâsyiyah dan Zain Al-’Âbidin Râ Ababdâr untuk kata yang sama: Al-Malik Ash-Shâlih. Namun, kekeliruan ini justeru menjadi salah tanda bahwa batu itu telah dipahat pada masa kemudian sebab cara penulisan yang menghilangkan alif-lam pada suku kata pertama itu merupakan bentuk penulisan yang dipengaruhi tradisi Persia di mana dalam naungannya bahasa Jawiy pertama sekali ditumbuhkan dan semakin banyak menyerap kaidah-kaidah bahasa Persia yang beraksara Arab dalam masa-masa penghujung abad ke-15 M.

Kekeliruan kedua, kalimat: Allâdzî intaqala min Ramadhân (yang berpindah [ke rahmatullah] dari bulan Ramadhan), di antara kata intaqala dan min seharusnya terdapat huruf jar (fî) dan kata bilangan tanggal wafat, misalnya: Allâdzî intaqala [fî-s-sâbi' 'asyar] min Ramadhân. Yang terakhir ini dapat menandakan bahwa pemahat meniru kembali kalimat-kalimat  inskripsi nisan Al-Malik Ash-Shâlih yang asli, namun barangkali karena kaligrafi dan bahan batunya berbeda dengan yang asli, pemahat jadi terjebak dalam kekeliruan tersebut.

Walau bagaimanapun, adalah suatu hal yang dapat dipastikan bahwa pada masa pemahatan nisan ini, apalagi sebelumnya, Al-Malik Ash-Shâlih adalah sosok sangat dikenal, sejarah hidupnya dikenang dan diteladani, dan semangat yang dikembangkannya menjadi inspirasi bagi generasi-generasi berikutnya. Hal ini seperti terlihat jelas pada kepribadian Sultan ‘Ali ibn Syams ibn Munawwar Al-Makhshûsh bi Mughâyati-Llâh atau lebih dikenal Sultan ‘Ali Mughayat Syah (wafat 936 H/1530 M), yang merupakan pelopor kebangkitan Aceh Darussalam dan kaum Muslimin di Asia Tenggara. Catatan pada nisannya di komplek Kandang XII, Banda Aceh, menunjukkan bahwa ia juga sosok yang punya kemiripan besar dengan Al-Malik Ash-Shâlih.

Sang Pemanggul Da’wah Islam

Banyak orang mengenal Samudra Pasai sebagai salah satu pusat penyebaran Islam di Nusantara. Namun, asumsi ini pada hakikatnya tidak sepadan dengan bobot Hikayat Raja-raja Pasai. Proses Islamisasi yang diceritakan dalam Hikayat sangat minim baik dari sisi ruang gerak maupun peran pelakunya. Ketika Syaikh Ismail dari Arab sampai ke negeri di bawah angin dan menjumpai Meurah Silu, yang terakhir ini sudah dapat mengucap dua kalimat syahadat, lalu orang-orang pun dikumpulkan dan dimasukkan dalam Islam. Selesai!

Meurah Silu yang sesudah memeluk Islam berganti nama menjadi Malikussaleh, juga tidak tampak sebagai sosok pengemban da’wah Islam dalam Hikayat tersebut. Perhatiannya lebih tertarik kepada orang Keling yang mampu melihat asap emas dari kejauhan. Emas lebih memikatnya. Ini pantas saja, sebab bagaimana seorang yang masa mudanya suka menyabung ayam, mengalahkan lawan untuk kepentingan pribadi, dan memiliki daya pikir yang sangat rendah seperti menamakan negeri dengan nama anjingnya, dan melahap semut besar lalu menamakan negerinya dengan semut besar seolah menginginkan agar perbuatannya yang menjijikkan itu dikenang oleh ramai orang! Bagaimana seorang aneh seperti ini dapat menjadi sultan pengemban beban da’wah Islam yang begitu berat dan membutuhkan sebuah kepribadian dengan komposisi khusus?!

Itukah kisah dari seorang yang bergelar Al-Malik Ash-Shâlih (raja yang shalih)?! Bukankah sosok yang diceritakan Hikayat itu akan langsung mengingatkan kita kepada Ken Arok, pendiri Singosari yang berasal dari orang kebanyakan dan tidak diketahui asal-usulnya?!

Ada sesuatu yang bergerak tidak wajar di lapisan bawah teks Hikayat ini. Apakah karena Islam mengandung perkara-perkara ghaib lantas dengan serta merta pelbagai takhayul dan mistik dapat dibenarkan, diterima dan dikembangkan dengan begitu mudah?! Sesuatu yang sebenarnya sudah mesti disadari bahwa Islam telah meletakkan dasar-dasar keyakinan yang sederhana dan gampang dicerna akal logis, dan tidak sesemeraut dan serumit kisah-kisah mistis.

Lalu, bagaimanakah sosok Al-Malik Ash-Shâlih?

Sebaik mana kita mengenal Al-Malik Ash-Shâlih sesungguhnya, niscaya kita pun yakin bagaimana suatu pendaman kedengkian telah dilepaskan dengan cara teramat halus ke dalam sebuah kronik atau hikayat yang tampak lahirnya seperti menyanjung, namun setelah diukur dengan neraca Islam, maka nyata sangat konyol dan jauh dari pola kepribadian yang dibentuk oleh Islam.

Pada makam Al-Malik Ash-Shâlih, seperti telah disebutkan, terdapat inskripsi pada sisi muka nisan sebelah kaki atau selatan, yang teksnya demikian: 

“Hâdza al-qabrul al-marhûm al-maghfûr at-taqiy an-nâshih al-hasîb an-nasîb al-karîm al-’âbid al-fâtih al-mulaqqab sulthân Malik ash-Shâlih alladzî intaqala min syahr Ramadhân sanata sitt wa tis’îna wa sittumi’ah min intiqal an- nabawiyyah saqa Allâhu tsarâhu wa ja’ala al-jannata matswâhu bi hurmati lâ ilâha illa-Llâhu Muhammad rasulullâh.”

(Inilah kubur orang yang dirahmati lagi diampuni, orang yang bertaqwa (takut kepada murka dan azab Allah) lagi pemberi nasehat, orang yang berasal dari keluarga terhormat dan dari silsilah keturunan terkenal lagi pemurah (penyantun), orang yang kuat beribadah (‘abid) lagi pembebas, orang yang digelar [dengan] Sultan [Al-]Mâlik Ash-Shalih, yang berpindah [ke rahmatullah] sejak bulan Ramadhan tahun 696 dari hijrah Nabi [saw.]. Semoga Allah menyiramkan [rahmat-Nya] ke atas pusaranya serta menjadikan syurga tempat kediamannya dengan kehormatan [kalimat] La ilaha illa-Llah Muhammadun Rasulullah (Tiada tuhan selain Allah, Muhammad utusan Allah.) 

Memahat Keagungan

Nisan Al-Malik Ash-Shâlih atau Al-Malikush-shâlih—demikian pengucapan yang benar dan diterima dalam cita rasa Muslim—dari sisi struktur materilnya: bahan baku, ornamen, relief, kaligrafi dan pilihan ayat-ayat Al-Qur’an yang diukir, memiliki kecenderungan cita rasa seni Islam di era kesultanan Aceh Darussalam. Yakni, seni yang secara kontras memunculkan suatu assimilasi budaya masyarakat pra-Islam di utara Sumatera dengan nilai-nilai Islam yang universal.

Dari sini terbuka kemungkinan, nisan Al-Malik Ash-Shâlih yang terdapat di gampong Beuringen, Samudera, Aceh Utara, hari ini adalah pengganti nisan asli. Penggantian itu barangkali dilakukan dalam masa awal era Aceh Darussalam di abad ke-16 M. Hal ini juga didukung oleh satu kenyataan paleografi yang menunjukkan bahwa ketika dilakukan pemahatan ulang inskripsi yang mengungkapkan tentang pemilik makam (Al-Malik Ash-Shâlih), pemahat melakukan dua kekeliruan, yang mungkin untuk waktu itu, dianggap bisa dimaafkan.

Pada pemahatan kalimat Al-Mulaqqab Sulthân Malik Ash-Shâlih (yang digelar Sultan Malik Ash-Shâlih) terdapat satu kekeliruan menyalahi kaidah bahasa Arab: kata malik ditulis tanpa diawali alif-lâm yang seharusnya ada seperti terdapat pada inskripsi nisan-nisan Muhammad Al-Malik Azh-Zhâhir, Nahrâsyiyah dan Zain Al-’Âbidin Râ Ababdâr untuk kata yang sama: Al-Malik Ash-Shâlih. Namun, kekeliruan ini justeru menjadi salah tanda bahwa batu itu telah dipahat pada masa kemudian sebab cara penulisan yang menghilangkan alif-lam pada suku kata pertama itu merupakan bentuk penulisan yang dipengaruhi tradisi Persia di mana dalam naungannya bahasa Jawiy pertama sekali ditumbuhkan dan semakin banyak menyerap kaidah-kaidah bahasa Persia yang beraksara Arab dalam masa-masa penghujung abad ke-15 M.

Kekeliruan kedua, kalimat: Allâdzî intaqala min Ramadhân (yang berpindah [ke rahmatullah] dari bulan Ramadhan), di antara kata intaqala dan min seharusnya terdapat huruf jar (fî) dan kata bilangan tanggal wafat, misalnya: Allâdzî intaqala [fî-s-sâbi' 'asyar] min Ramadhân. Yang terakhir ini dapat menandakan bahwa pemahat meniru kembali kalimat-kalimat  inskripsi nisan Al-Malik Ash-Shâlih yang asli, namun barangkali karena kaligrafi dan bahan batunya berbeda dengan yang asli, pemahat jadi terjebak dalam kekeliruan tersebut.

Walau bagaimanapun, adalah suatu hal yang dapat dipastikan bahwa pada masa pemahatan nisan ini, apalagi sebelumnya, Al-Malik Ash-Shâlih adalah sosok sangat dikenal, sejarah hidupnya dikenang dan diteladani, dan semangat yang dikembangkannya menjadi inspirasi bagi generasi-generasi berikutnya. Hal ini seperti terlihat jelas pada kepribadian Sultan ‘Ali ibn Syams ibn Munawwar Al-Makhshûsh bi Mughâyati-Llâh atau lebih dikenal Sultan ‘Ali Mughayat Syah (wafat 936 H/1530 M), yang merupakan pelopor kebangkitan Aceh Darussalam dan kaum Muslimin di Asia Tenggara. Catatan pada nisannya di komplek Kandang XII, Banda Aceh, menunjukkan bahwa ia juga sosok yang punya kemiripan besar dengan Al-Malik Ash-Shâlih.

Sang Pemanggul Da’wah Islam

Banyak orang mengenal Samudra Pasai sebagai salah satu pusat penyebaran Islam di Nusantara. Namun, asumsi ini pada hakikatnya tidak sepadan dengan bobot Hikayat Raja-raja Pasai. Proses Islamisasi yang diceritakan dalam Hikayat sangat minim baik dari sisi ruang gerak maupun peran pelakunya. Ketika Syaikh Ismail dari Arab sampai ke negeri di bawah angin dan menjumpai Meurah Silu, yang terakhir ini sudah dapat mengucap dua kalimat syahadat, lalu orang-orang pun dikumpulkan dan dimasukkan dalam Islam. Selesai!

Meurah Silu yang sesudah memeluk Islam berganti nama menjadi Malikussaleh, juga tidak tampak sebagai sosok pengemban da’wah Islam dalam Hikayat tersebut. Perhatiannya lebih tertarik kepada orang Keling yang mampu melihat asap emas dari kejauhan. Emas lebih memikatnya. Ini pantas saja, sebab bagaimana seorang yang masa mudanya suka menyabung ayam, mengalahkan lawan untuk kepentingan pribadi, dan memiliki daya pikir yang sangat rendah seperti menamakan negeri dengan nama anjingnya, dan melahap semut besar lalu menamakan negerinya dengan semut besar seolah menginginkan agar perbuatannya yang menjijikkan itu dikenang oleh ramai orang! Bagaimana seorang aneh seperti ini dapat menjadi sultan pengemban beban da’wah Islam yang begitu berat dan membutuhkan sebuah kepribadian dengan komposisi khusus?!

Itukah kisah dari seorang yang bergelar Al-Malik Ash-Shâlih (raja yang shalih)?! Bukankah sosok yang diceritakan Hikayat itu akan langsung mengingatkan kita kepada Ken Arok, pendiri Singosari yang berasal dari orang kebanyakan dan tidak diketahui asal-usulnya?!

Ada sesuatu yang bergerak tidak wajar di lapisan bawah teks Hikayat ini. Apakah karena Islam mengandung perkara-perkara ghaib lantas dengan serta merta pelbagai takhayul dan mistik dapat dibenarkan, diterima dan dikembangkan dengan begitu mudah?! Sesuatu yang sebenarnya sudah mesti disadari bahwa Islam telah meletakkan dasar-dasar keyakinan yang sederhana dan gampang dicerna akal logis, dan tidak sesemeraut dan serumit kisah-kisah mistis.

Lalu, bagaimanakah sosok Al-Malik Ash-Shâlih?

Sebaik mana kita mengenal Al-Malik Ash-Shâlih sesungguhnya, niscaya kita pun yakin bagaimana suatu pendaman kedengkian telah dilepaskan dengan cara teramat halus ke dalam sebuah kronik atau hikayat yang tampak lahirnya seperti menyanjung, namun setelah diukur dengan neraca Islam, maka nyata sangat konyol dan jauh dari pola kepribadian yang dibentuk oleh Islam.

Pada makam Al-Malik Ash-Shâlih, seperti telah disebutkan, terdapat inskripsi pada sisi muka nisan sebelah kaki atau selatan, yang teksnya demikian: 

“Hâdza al-qabrul al-marhûm al-maghfûr at-taqiy an-nâshih al-hasîb an-nasîb al-karîm al-’âbid al-fâtih al-mulaqqab sulthân Malik ash-Shâlih alladzî intaqala min syahr Ramadhân sanata sitt wa tis’îna wa sittumi’ah min intiqal an- nabawiyyah saqa Allâhu tsarâhu wa ja’ala al-jannata matswâhu bi hurmati lâ ilâha illa-Llâhu Muhammad rasulullâh.”

(Inilah kubur orang yang dirahmati lagi diampuni, orang yang bertaqwa (takut kepada murka dan azab Allah) lagi pemberi nasehat, orang yang berasal dari keluarga terhormat dan dari silsilah keturunan terkenal lagi pemurah (penyantun), orang yang kuat beribadah (‘abid) lagi pembebas, orang yang digelar [dengan] Sultan [Al-]Mâlik Ash-Shalih, yang berpindah [ke rahmatullah] sejak bulan Ramadhan tahun 696 dari hijrah Nabi [saw.]. Semoga Allah menyiramkan [rahmat-Nya] ke atas pusaranya serta menjadikan syurga tempat kediamannya dengan kehormatan [kalimat] La ilaha illa-Llah Muhammadun Rasulullah (Tiada tuhan selain Allah, Muhammad utusan Allah.)


Kalimat-kalimat yang tersusun rapi pada inskripsi nisannya, lancar, tidak dibuat-buat. Diucapkan seolah tanpa dipikir-pikir, lahir begitu saja secara spontanitas seakan ada satu dorongan kuat yang mendesaknya keluar secara tiba-tiba, yakni satu pengakuan batin bahwa orang ini amat pantas dikenang, diingat serta diteladani.

Kita seperti melihat jelas bagaimana genangan airmata meluap ketika penyusun kalimat ini menelusuri ruang- ruang ingatan dan pengalaman pribadinya, memerah ungkapan-ungkapan tersebut dari hidup seorang yang besar dan mengagumkan sebagai Al-Malik Ash-Shâlih. Ia tak dapat memendam keharuan sekaligus “patah hatinya” karena ditinggal pergi untuk selamanya oleh seorang yang ia kenal dengan baik, seorang yang telah dimudahkan oleh Allah untuk meninggikan agama-Nya di belahan tenggara bumi ini.

Berikut ini adalah secuil makna dari apa yang sesungguhnya ingin diungkapkan oleh penyusun kalimat-kalimat pada inskripsi nisan. Kalimat-kalimat itu pun barangkali baru mewakili sebagian apa yang dirasakannya—Maha Suci Allah Yang telah Menciptakan manusia dan Mengajarinya pengungkapan (al-bayan).

Inilah kubur orang yang dirahmati (al-marhûm) lagi diampuni (al-maghfûr). Kedua kata, al-marhûm dan al-maghfûr adalah pengakuan awal bahwa Allah-lah Yang Maha Mengetahui segalanya. Bagaimanapun tingginya seseorang dalam pandangan manusia, ia tetap hamba Allah yang tidak terlepas dari silap dan salah. Atas itu semua, maka siapa pun hamba Allah pantas untuk didoakan semoga Allah Mengampuni dan Merahmatinya.

At-taqiy an-nâshih (orang yang takut kepada murka dan azab Allah, lagi pemberi nasehat) adalah dua kata yang berpasangan secara serasi. Kata kedua, an-nâshih, lahir dalam ingatan segera setelah kata pertama, at-taqiy; bila ungkapan ini dijabarkan maka lebih kurang begini: ia bukan hanya orang yang baik tapi juga orang yang menginginkan kebaikan untuk orang lain.

Seorang yang takut kepada murka dan azab Allah, akan sangat menjaga dirinya dari pelbagai hal yang dilarang oleh Khaliqnya serta tunduk patuh terhadap segala perintah-Nya. Sifat ini bangkit dari kedalaman iman dan yakinnya kepada kebesaran Pencipta. Suatu iman yang tangguh; tidak terlena di kala suka, tidak kecewa di kala lara. Iman yang membuahkan perilaku dan sikap progresif untuk setiap kebaikan, dan yang menghentakkannya kembali kepada kesadaran dan taubat ketika terlanjur bersalah.

Tidak ada kekuatiran bagi rakyat atau orang-orang lemah di hadapan seorang pemimpin yang takut kepada Allah sebab ia mengakui di kedalaman hatinya bahwa ada Penguasa Maha Tinggi Yang Melihat segala gerak geriknya, dan semua itu akan diperhitungkan dalam persidangan-Nya kelak di hari hisab.

An-Nâshih, pemberi nasehat. Ini adalah pola pandang sekaligus metoda. Kekerasan bukanlah pilihan awal dan akhir. Arahan Nabi saw., sampaikanlah olehmu berita menggembirakan [tentang rahmat dan petunjuk Allah], dan jangan kamu menjauhkan mereka [dari rahmat dan petunjuk-Nya], senantiasa dicamkan oleh Al-Malik Ash-Shâlih. Ia memberi nasehat, mengajak, menyeru kepada menyembah Tuhan yang patut disembah dan berbuat kebaikan demi keselamatan di dunia dan akhirat.

Memberi nasehat adalah tugas para nabi dan rasul. Apabila para nabi dan rasul adalah makhluk Allah termulia di antara seluruh ciptaan-Nya, maka tugas mereka adalah termulia di antara pelbagai tugas. Bantahan, cemoohan dan rintangan adalah suatu yang lumrah diterima oleh seorang pemberi nasehat. Tugas itu demikian berat, butuh kesabaran dan lapang dada, dan karenanya hanya mampu dipikul oleh seseorang yang tangguh, tidak mudah patah dan kecewa.

Lain itu, pemberi nasehat adalah pribadi yang memiliki kepedulian dan perhatian kepada lainnya. Al-Malik Ash- Shâlih seorang yang takut kepada Allah, dan dalam waktu yang sama ia pun menginginkan hal serupa pada lainnya, karena ia meyakini persoalan hari akhirat adalah persoalan yang berat, tidak sebanding dengan apa pun kesusahan di dunia, dan cuma pada waktu hidup-lah ia mampu membantu lewat mengingatkan dan menasehati. Itulah wujud kasih sayang sejati antar sesama manusia yang dipahaminya dari hadits Rasulullah saw.: “Tidak sempurna iman seseorang dari kamu sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”

Itu pula metoda yang ditempuh Al-Malik Ash-Shâlih dalam menegakkan kalimah Allah sebagaimana metoda yang telah ditunjuki oleh pengembang pertama da’wah samawiyah ini, Rasulullah [saw.]. Islam bukan agama terorisme, bukan agama yang melegitimasikan segala cara untuk mencapai kehendak. Segala perkara dalam Islam adalah ibadah, dan setiap ibadah ada syarat dan rukunnya sehingga amal ibadah tersebut diterima di sisi Allah Ta’ala serta memperoleh balasan-Nya.

Inskripsi pada nisan Al-Malik Ash-Shâlih juga menyebutkan bahwa ia seorang yang berasal dari keluarga terhormat dan dari silsilah keturunan terkenal, lagi penyantun (al-hasîb an-nasîb al-karîm).

Sifat al-karîm atau penyatun lahir dengan sendirinya dalam ingatan setelah al-hasîb an-nasîb, semisal kita mengatakan, ia orang hebat tapi tidak sombong. Keterangan mengenai asal dan status keturunan Al-Malik Ash- Shâlih ini sangat bertolak belakang dengan apa yang disebutkan dalam Hikayat Raja-raja Pasai. Di sana disebutkan bahwa Meurah Silu adalah putera Meurah Gajah dan Puteri Betung yang keduanya tidak diketahui asal usulnya, konon lagi terhormat; satunya ditemukan saat diasuh oleh gajah dan satunya lagi didapati dari balik semak-semak rumpun bambu, dalam betung. Jika demikian kisah asal usul Meurah Silu maka cocoknya ia adalah teman sepermainan Ken Angrok dan bukan sultan Samudra Pasai yang mengemban amanah da’wah Islam dalam hidupnya.

Sekalipun berasal dari turunan terpandang dan mulia, namun Al-Malik Ash-Shâlih adalah seorang yang penyantun dan mulia (al-karîm), tidak tinggi hati. Menyayangi orang-orang yang lemah dan tak berdaya. Statusnya yang tinggi tidak menyulitkan dirinya untuk merendah. Iman dan pengalaman hidupnya telah mengangkatnya untuk menjadi sosok yang dicintai oleh rakyatnya, terutama oleh golongan lemah. Dan itu merupakan salah satu syarat paling penting bagi seorang yang akan membawa rakyatnya menuju suatu tataran hidup baru yang lebih dinamis, berarti dan berpengaruh.

Dari tataran itu, budaya dan peradaban lahir, tumbuh berkembang, menjulang tinggi hingga suatu waktu kelak ia akan selalu tercatat dalam sejarah, senantiasa diingat, dikenang serta diteladani. Maka, tidak mengherankan apabila masa pemerintahan Al-Malik Ash-Shâlih adalah masa awal Samudra Pasai muncul sebagai sebuah kesatuan politik yang kuat dan berpengaruh di Nusantara, terutama dalam memperluas wilayah Islam di bumi Nusantara yang amat jauh dari tempat turun wahyu. Hingga, Islam sampai hari ini masih tetap menjadi agama mayoritas di Indonesia dan semenanjung Melayu sekalipun pernah dihantam badai imperialisme yang cukup lama dan berat.

Tidak dapat tidak untuk diakui bahwa proses Islamisasi Asia Tenggara yang begitu cepat adalah peristiwa sejarah terhebat di kawasan ini, dan hal tersebut sudah barangtentu dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar teguh, salah satunya ialah Al-Malik Ash-Shâlih.

Al-’âbid al-fâtih (ahli ibadah lagi pembebas). Kata kedua juga spontanitas muncul dalam ingatan setelah kata pertama. Ia seorang abid. Sifat ini yang membuat Al-Malik Ash-Shâlih bukan orang terkecualikan dalam barisan tokoh-tokoh besar dan agung dalam sejarah Islam. Inilah keistimewaan sejarah kebudayaan dan peradaban Islam, pembangunnya adalah ‘âbid, ahli ibadah. Mulai dari Rasulullah saw. yang sempat bengkak kaki beliau karena lama berdiri dalam shalat malam, para shahabat yang acap kali menangis karena takut kepada Allah sampai dengan tokoh-tokoh utama yang hidup sebelum Al-Malik Ash-Shâlih dalam jarak waktu yang tidak begitu jauh semisal Shalâhuddin Al-Aiyûbiy (wafat 589 H/1194 M), Mahmûd Al-Ghaznawiy, Syihâbuddîn Al-Ghûriy dan lainnya. Mereka tentu tokoh-tokoh yang telah memberi pengaruh besar dalam jiwa Al-Malik Ash-Shâlih.

Dinamika kehidupan seorang yang mengemban cita-cita dan tugas besar memang menghendaki suatu kedekatan kuat dengan Tuhan, tempat ia mengadu, memohon pertolongan dan petunjuk. Ia sadar bahwa dirinya lemah, dan sebagai orang yang hidupnya penuh gerak, terkadang tak semuanya berjalan sesuai yang direncanakan. Ketika jatuh ia butuh ketegaran untuk bangkit, dan kedekataan dengan Tuhan adalah sumber ketegaran itu. Hanya kepada-Nya, ia memohon pertolongan dan kemudahan, dan hanya kepada-Nya ia berserah diri, sebagaimana prinsip hidup seorang Mu’min.

Al-Malik Ash-Shâlih memang seorang ahli ibadah (Al-’âbid), tapi ia bukan petapa yang menyembunyikan dirinya di gunung-gunung. Ia seorang pembebas (al-fâtih); seorang ahli ibadah yang juga kesatria.

Al-Malik Ash-Shâlih adalah seorang pengembang da’wah Islam dan penyebar nilai-nilai kebebasan. Ia tidak dapat membiarkan sebuah bangsa yang rakyatnya ditindas dan dikungkung oleh penguasanya. Islam mesti menjadihak pilih semua orang. Setiap penguasa yang menghadang da’wah Islam adalah penguasa otoriter yang harus dilumpuhkan. Kekuatan harus digunakan. Jihad fi sabili-lLah adalah salah satu amal ibadah paling utama dalam Islam. Namun sebagaimana ibadah lainnya, jihad juga memiliki syarat dan rukunnya. Inilah yang membedakan jihad dengan berbagai penaklukan dan tindak barbarian.

Inilah kepribadian sosok pengembang Islam sesungguhnya. Komposisi jiwa yang demikian padu dan berimbang untuk satu kerja besar. Apabila ketertarikan ramai orang kepada Islam diawali oleh faktor sosok penyebarnya, maka kepribadian Al-Malik Ash-Shâlih adalah daya tarik pertama yang mendorong orang untuk memeluk Islam. Jelas sekali, ia seorang yang tidak bernafsu menguasai tanah dan harta milik orang lain; ia hanya menginginkan hati mereka di dalam Islam.

“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kelapangan-Nya, dan engkau melihat ramai orang berbondong- bondong masuk kepada agama Allah, maka bertasbihlah memuji Tuhanmu serta mohonlah ampun kepada-Nya, sesungguhnya Ia Maha Penerima taubat.” (An-Nashr: 1-3)

Itulah pribadi orang yang digelar dengan Sultan Al-Malik Ash-Shâlih (raja yang shalih). Sebuah gelar (laqb) yang amat sepadan dengan penyandangnya—Al-Malik Ash-Shâlih bukan nama ganti dari Meurah Silu seperti tersirat dalam sebagian teks Hikayat, tapi memang gelar, sebab dalam bahasa Arab, jika untuk nama maka akan disebut al-musammâ (yang dinamakan) dari ism (nama), jika untuk panggilan maka akan disebut al-mukannâ (yang diberi panggilan) dari kunyah (panggilan seperti nama diawali kata Abu, Ibnu), dan jika untuk gelar maka akan disebut al-mulaqqab (yang digelar), seperti ini.

Dari sisi filologis, penyebutan Sultan Al-Malik Ash-Shâlih pada inskripsi nisan juga dapat memberikan beberapa informasi lain:

Pertama, predikat sulthân dalam sistem perpolitikan Islam digunakan untuk pemegang kekuasaan di bawah khalifah atau amîr al-mu’minîn, dan di atas amir, malik, atau raja yang berkuasa atas satu-satu negeri. Sementara sultan menguasai kawasan atau beberapa negeri, dan kesultanan (salthanah) hampir serupa dengan apa yang disebut dalam perpolitikan modern dengan negara konfederasi. Sistem kesultanan seperti ini pertama sekali diterapkan adalah pada periode kekhalifahan dinasti Abbasiyah III, yaitu pada masa Khalifah Al-Muthî’ li-Llâh (334-369 H/946-973 M) di mana Khalifah memberikan gelar sultan kepada para penguasa dari Bani Buwaih di Persia disebabkan pengaruh mereka yang besar terhadap pemerintahan di Baghdad.

Dari sini dapat diketahui bahwa Al-Malik Ash-Shâlih adalah penguasa untuk beberapa negeri di kawasan Sumatera, dan mungkin juga termasuk semenanjung Melayu. Pengangkatannya sebagai sultan juga dapat dipastikan atas restu khalifah Abbasiyah Al-Hâkim bi Amri-Llâh (661-701 H/1263-1302 M), yang berada di Mesir pada waktu itu, dan Mesir di bawah pemerintahan para sultan Mameluk.

Kedua, Al-Malik Ash-Shâlih adalah gelar yang mengikuti cara penggelaran para sultan dari zaman Bani Aiyyûb atau al-Aiyyûbiyah yang menguasai wilayah-wilayah Mesir, Syam, Hijaz dan Yaman. Bahkan gelar yang sama telah pernah dipasangkan kepada penguasa Bani Aiyyûb sebelum akhir, yaitu Al-Malik Ash-Shâlih Najmuddîn Aiyûb (wafat 647 H/1250 M). Penggelaran ini diikuti kemudian oleh para penguasa Mameluk Mesir setelah mereka. Bahkan dalam tradisi Mamalik, setiap keturunan sultan telah diberi gelar malik (raja) sejak kecilnya, dan apabila mereka naik tahta, maka ditambahkan gelar sultan.

Gelar Al-Malik Ash-Shalih juga dapat menandakan loyalitasnya yang tinggi, sebagaimana kakek-kakeknya, kepada kekhalifahan dinasti Abbâsiyyah yang telah berpindah ke Mesir setelah Mongol (Tartar) menghancurkan Baghdad dan menewaskan Khalifah Al-Musta’shim bi-lLâh pada 656 hijriah (1259 masehi). Maka, tidak mengherankan pula apabila makam salah seorang cucu keturunan dari khalifah Al-Mustanshir bi-Llâh bernama Abdullah dan puteranya, Yûsuf (wafat 830 H/1427 M), berada di Kuta Karang, Samudera, hari ini.

Sayang, detail kehidupan sang Sultan yang wafat pada 696 hijriah (1297 masehi) telah lenyap ditelan zaman. Kisah hidup yang begitu sarat pelajaran dan pedoman lepas dari genggaman tangan generasi-generasi setelahnya. Namun saya yakin di satu sudut bumi Islam masih menyimpan riwayat hidup Sultan yang “shahih”.

Suatu waktu, apabila Tuhan mengizinkan, sebuah pengembaraan yang betapa pun beratnya, pantas dilakukan untuk menemukan serta mengembalikan riwayat hidup sang Sultan ke tanah negeri yang dibangunnya dengan peluh dan air mata, tanah di mana menjadi tempat peristirahatan jasadnya yang mulia. Itu semua agar generasi hari ini dan masa mendatang dapat menatapnya dengan jelas sekaligus mengisi rongga dada mereka dengan semangatnya dalam melangkah menggapai ridha Allah—semoga!

Kuliah umum ini menjadi momentum penting dalam upaya menghidupkan kembali semangat peradaban Samudra/Sumatra Pasai melalui pendekatan akademik dan kolaborasi lintas lembaga. Selain memperkaya wawasan mahasiswa, kegiatan ini juga diharapkan mampu mendorong pengembangan riset dan kebijakan berbasis nilai-nilai sejarah dan budaya lokal.[abel]

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama