Gerilyawan di Balik Meja Tenaga Ahli DPR RI dan Ancaman Senyap bagi Kepala Daerah Baru

JRB.ONESETIAP kali kepala daerah baru dilantik, euforia perubahan sering kali disambut dengan derasnya tawaran “bantuan” dari berbagai penjuru. 

Di antara yang paling aktif bergerilya adalah segelintir orang yang menyebut diri mereka sebagai Tenaga Ahli DPR RI. Mereka datang bukan membawa mandat lembaga, tetapi menjual pengaruh atas nama jabatan dan kedekatan politik. Mereka tidak membawa surat tugas dari kementerian, tetapi membawa proposal dan mimpi, lengkap dengan janji "akses cepat ke pusat".

Fenomena ini kian masif, seolah menjadi pola baru dalam perebutan proyek dan pengaruh di daerah. Padahal harus digarisbawahi: tenaga ahli bukan pejabat publik, bukan penentu kebijakan, dan bukan pula penyalur resmi Dana Alokasi Khusus (DAK) atau dana pusat lainnya. Mereka hanya konsultan informal yang lihai menjual relasi. Gerilya mereka justru mengganggu tatanan etis pemerintahan dan seringkali menjadi pintu awal dari praktik korupsi berjubah “kerjasama strategis”.

Sayangnya, banyak kepala daerah baru yang masih lugu atau terlalu antusias, tergoda oleh narasi “jalan pintas birokrasi” yang mereka tawarkan. Mereka kerap membawa kepala daerah ke ranah abu-abu: intervensi penyusunan program, penunjukan rekanan tanpa tender, hingga markup anggaran. Dan ketika badai hukum datang, para tenaga ahli ini lenyap dari sorotan, membiarkan kepala daerah sendirian menanggung akibatnya.

Inilah mengapa kepala daerah—terutama yang baru menjabat—harus membuka mata lebar-lebar. Jangan biarkan gerilya para “tenaga ahli gadungan” ini menggerogoti integritas pemerintahan dari dalam. Pemerintah pusat pun perlu menyatakan sikap yang lebih tegas: bahwa urusan pendanaan daerah tidak pernah dititipkan kepada pihak ketiga, apalagi melalui jalur tidak resmi.

Kalau benar-benar ingin membangun, lakukan melalui jalur formal. Komunikasi dengan kementerian teknis harus melalui mekanisme yang jelas dan terbuka. Tenaga ahli tidak bisa dan tidak boleh menjadi broker proyek di daerah. Mereka harus dibatasi ruang manuvernya, dan tidak diberi panggung dalam kebijakan publik.

Sudah terlalu banyak daerah yang tersandung karena mempercayai orang yang hanya tahu menjual kedekatan, tapi tak punya tanggung jawab apa pun ketika kerugian datang. Kepala daerah bijak adalah yang tahu menolak sebelum terlambat.

Aceh juga pernah nyaris terjerat pola ini. Dalam kasus pengaturan proyek DAK di Kota Subulussalam, muncul dugaan kuat adanya pihak luar yang mengatur distribusi program dengan mengklaim kedekatan dengan elite Senayan. Meski tak seluruhnya terbukti secara hukum, keberadaan “penghubung informal” ini cukup mengganggu tatanan pemerintahan daerah.

Begitu pula di Bener Meriah. Dalam pengusutan dugaan korupsi pengadaan tahun 2019, terungkap indikasi peran pihak luar birokrasi yang menawarkan pengawalan proyek dari pusat. Mereka bukan pejabat, bukan konsultan resmi, namun aktif memberi arahan siapa yang harus mengerjakan program.

Lihat saja kasus Kabupaten Kolaka Timur di Sulawesi Tenggara. Pada tahun 2022, Bupati Andi Merya Nur terjerat OTT KPK karena pengaturan proyek DAK yang difasilitasi pihak luar yang mengaku sebagai perantara pusat. Dalam dakwaan terungkap, “jalur lobi” dan “pengawalan DAK” itu dimotori pihak yang mengklaim punya kedekatan dengan elite Senayan. Bupati terjerat, para makelar lolos begitu saja.

Begitu pula di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Mantan Bupati Dodi Reza Alex ditangkap karena praktik korupsi pengadaan proyek infrastruktur yang juga melibatkan pihak-pihak luar birokrasi daerah yang aktif 'memasarkan' paket kegiatan ke daerah. Mereka bukan pejabat pusat, bukan tenaga teknis, tetapi aktor informal yang mengaku punya jalur langsung ke DPR dan kementerian.

Kasus-kasus ini menjadi bukti betapa berbahayanya jika ruang pengambilan keputusan di daerah dikotori oleh intervensi oknum yang berlindung di balik label “tenaga ahli.” Maka, sekali lagi: kepala daerah harus tegas menutup celah ini sejak awal. Jangan tunggu sampai tikus membobol lumbung.

Penulis: Dr. Saiful Bahri, MA

Dosen Pendidikan Anti Korupsi dan Pengamat Kebijakan Publik dan Tata Kelola Daerah.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama