JRB.ONE - Penguasa yang kian represif dijadikan barometer toleran dalam berdakwah dan ajang melepas penat dijadikan motivasi masyarakat untuk mendengar dakwah. Keduanya termasuk tantangan yang mustahil para da'i untuk menutup mata. Pertanyaannya sekarang: bagaimana menyampaikan kebenaran Islam dengan cara yang tetap diterima publik? dan mengapa melucu di atas mimbar hingga menyederhanakan ayat agar tidak "menyinggung" siapapun justru bukan solusi?
Bukan rahasia lagi bahwa banyak masyarakat datang ke majelis ilmu setelah seharian bekerja keras —di sawah, ladang, pasar, laut— untuk dihibur. Para dai' mengakalinya dengan gaya ceramah yang ringan, lucu, dan menghibur. Sekilas, tidak ada yang salah dengan menghibur umat. Dakwah memang bisa jadi sarana menyegarkan jiwa.
Namun, yang perlu diwaspadai adalah ketika masyarakat justru lebih ingat lelucon sang pendakwah ketimbang substansi ceramahnya. Islam yang seharusnya memberi solusi atas persoalan umat malah terpinggirkan oleh tawa. Ketika dakwah tidak lagi mengoreksi masyarakat, maka ia hanya bagian lain dari industri hiburan. Padahal, dakwah bukan panggung lawak. Dan solusi dari problem umat adalah wahyu, bukan gelak tawa.
Kedua, pendekatan memilah-milah ayat. Dengan dalih menjaga harmoni, membuat penceramah kadang enggan menyampaikan ayat-ayat yang bisa menyinggung penguasa, elite, atau golongan tertentu. Akibatnya, ayat tentang perintah menegakkan hukum Islam, larangan riba, atau perintah agar meninggal dunia dalam keadaan selamat Iman (husnul khatimah) jadi tak tersampaikan. Proses seleksi ayat telah bergeser dari semula karena konteks dakwah menjadi karena tekanan sosial dan politik.
Inilah yang disebut oleh banyak ulama sebagai bentuk inferioritas dakwah. Ketika pendakwah mulai menyensor wahyu agar tak mengundang risiko, sejatinya mereka telah kehilangan posisi sebagai penyampai kebenaran.
Jawaban Islam
Mencicipi berbagai resiko dakwah —mulai dari ditawari kedudukan oleh pamannya sendiri hingga dilempari batu saat dirinya di Thaif— tidak membuat Rasulullah SAW mengangkat bendera untuk menyerah.
"Janganlah kamu mengikuti para pendusta itu. Mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak, lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu)" (TQS al-Qalam [68]: 8-9).
Melawak dan memilah milih ayat, termasuk "sikap lunak" yang terlarang dalam ayat diatas. Karena dapat membuat Islam jadi hilang taringnya
Dakwah yang kehilangan ketegasan adalah dakwah yang tunduk pada keinginan kaum pendusta. Islam tidak mengajarkan kompromi pada prinsip. Kebenaran tetaplah kebenaran, dan ia harus disampaikan dengan jujur dan penuh keberanian. Menghindari tema-tema penting yang menyentuh akar masalah umat, itu bukan strategi—itu adalah bentuk ketakutan.
Lihatlah bagaimana Allah menunjukkan Dia lebih tahu dibanding hamba-Nya, dalam TQS al-Ahzab [33]: 48:
"Janganlah kamu menghiraukan gangguan-gangguan mereka dan bertawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah sebagai Pelindung."
Allah sendiri telah menetapkan prinsip bahwa tak akan Dia mengazab satu kaum sebelum diutus kepada mereka seorang Rasul yang menyampaikan syariat (Lihat TQS. Al-Isra: 15). Ini menunjukkan betapa besar tanggung jawab para dai sebagai penerus misi kenabian. Jangan sampai karena takut tidak viral, takut dibenci, atau takut panggung ceramahnya dicabut, lalu kebenaran dibungkam.
Setelah memberikan solusi, Islam juga mendorong aktivitas menjadikan syari'ah sebagai bahan renungan:
"Bukankah Kami telah memanjangkan umurmu untuk dapat berpikir bagi orang yang mau berpikir, padahal telah datang kepadamu seorang pemberi peringatan? Maka rasakanlah (azab Kami), dan bagi orang-orang zalim tidak ada seorang penolong pun" (TQS Fatir : 37).
Karena itu, jika dakwah hanya berhenti pada ajakan bersikap baik, sabar, dan shalat, tanpa menyentuh problem struktural seperti kezaliman politik, siksa kubur, atau dekadensi moral akibat sekularisme, maka tujuan dakwah belumlah tercapai. Lebih jauh, umat Islam hari ini butuh penceramah yang berani mengobarkan kebenaran.
Sudah waktunya dakwah dikembalikan pada marwahnya.
Dakwah tidak hanya ditujukan pada orang-orang yang nyaman. Ia juga harus menyasar penguasa, pembuat hukum, dan opini publik yang keliru. Tetap tersesatnya umat meski berkali-kali tertawa di pengajian bukanlah yang kita mau.
Penulis oleh : Hadi Irfandi
Mahasiswa Prodi Pendidikan Agama Islam UIN Ar-Raniry, Banda Aceh
