Shamadiyah, Do’a Bersama, dan Diskusi 20 Tahun Damai Aceh di Dayah Bahjatul Fata

 


Banda Aceh | JRB.ONEDayah Bahjatul Fata, Meunasah Baet, Kecamatan Baitussalam, menjadi saksi perhelatan kegiatan reflektif bertajuk Shamadiyah, Do’a Bersama, dan Diskusi 20 Tahun Damai Aceh yang diinisiasi oleh Komunitas Mahasiswa Peduli Dayah (KMPD) di bawah pimpinan Founder Tgk Muhammad Afif Irvandi El Tahiry, S.H. Acara ini dihadiri oleh berbagai tokoh masyarakat, akademisi, praktisi hukum, dan generasi muda yang peduli terhadap masa depan Aceh.

Acara dimulai dengan pembacaan Shamadiyah dan Do’a Bersama yang dipimpin langsung oleh Abina Syarwani M Jamil, Pimpinan Dayah Bahjatul Fata pada hari jum'at, 15 Agustus 2025. Suasana khidmat terasa ketika para hadirin memanjatkan doa untuk para syuhada, pejuang, dan seluruh korban konflik yang telah menjadi bagian dari perjalanan panjang Aceh menuju damai.

Setelah sesi doa, Founder KMPD, Tgk Muhammad Afif Irvandi El Tahiry, S.H., membuka forum dengan pernyataan tajam, mengingatkan bahwa damai Aceh tidak boleh berhenti pada simbol dan seremoni belaka. Menurutnya, damai yang sejati adalah damai yang hadir di dapur rakyat, di ladang petani, di sekolah anak-anak yatim, dan di rumah setiap keluarga yang pernah merasakan perihnya konflik. Ia menegaskan bahwa butir-butir MoU Helsinki harus benar-benar dijalankan, hak korban konflik dipenuhi, dan keadilan ditegakkan.

Diskusi kemudian dipandu oleh moderator Nasrul Habibi, yang mengawal jalannya pembahasan secara dinamis dan terarah.

Materi pertama disampaikan oleh Ayahanda Drs. Abdurrahman Ahmad, Anggota DPRA dari Partai Gerindra, yang menyoroti perjalanan politik pasca-MoU Helsinki. Ia menguraikan bahwa meski ada kemajuan, masih banyak janji politik yang belum tuntas, terutama terkait implementasi UUPA dan kemandirian ekonomi Aceh.

Pemateri kedua, Tuanku Muhammad, S.Ag., M.Ag., memberikan perspektif agama tentang perdamaian. Ia menekankan bahwa damai sejati harus berlandaskan keadilan, sebagaimana diajarkan dalam syariat Islam, dan mengingatkan bahwa perdamaian tanpa moralitas hanya akan menjadi formalitas rapuh.

Abang Hasbar Kuba, S.H., selaku pemateri ketiga, mengupas aspek hukum. Ia menegaskan bahwa perlindungan hukum terhadap korban konflik harus menjadi prioritas, serta menyoroti pentingnya penguatan lembaga hukum agar tidak tunduk pada kepentingan politik sempit.

Pemateri keempat, Kak Rahmi, CH.CHt.CNLP.CPC, membahas dimensi psikologis dari perdamaian. Menurutnya, trauma pascakonflik masih membekas pada generasi yang lahir setelah perang, sehingga pemulihan mental dan pendidikan karakter menjadi kunci menjaga perdamaian jangka panjang.

Tgk Saiful Maulana, S.H., M.H., sebagai pemateri terakhir, mengulas tantangan hukum Islam dalam menjaga harmoni sosial di Aceh. Ia mengingatkan bahwa penegakan syariat harus disertai dengan pemahaman yang bijak agar tidak memicu perpecahan baru.

Acara ini menjadi ruang bertemu antara tokoh agama, politik, hukum, dan psikologi untuk saling berbagi pandangan. Diskusi berlangsung hidup, dengan pertanyaan dan masukan dari para peserta yang memperkaya pembahasan.

Menutup kegiatan, Tgk Muhammad Afif Irvandi El Tahiry kembali menegaskan bahwa perdamaian adalah amanah besar yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Ia mengajak semua pihak untuk terus mengawal dan menjaga perdamaian Aceh, bukan hanya di bibir, tetapi juga di tindakan nyata.[Syahrul]

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama