JRB.ONE - Dua puluh tahun sudah sejak tinta MOU Helsinki dibubuhkan di atas kertas basah darah dan air mata rakyat Aceh. 15 Agustus 2005, dunia menyambut damai, tapi Aceh menyambut sunyi-sunyi yang tidak pernah selesai. ditafsirkan. Perdamaian itu tak selalu bermakna pulih. Kadang, ia sekadar transisi dari jerit peluru ke diam yang memekakkan. Aceh hari ini adalah museum luka yang dilabeli "damai". Tapi apakah jiwa benar-benar pulih? Ataukah kita hanya sedang memperpanjang napas kesakitan?
Zikir Luka: Di Mana Allah dalam Damai Ini?
Zikir bukan sekadar lafaz yang berulang. la adalah cermin kesadaran. Aceh, tanah Serambi Mekkah, hari ini menggigil dalam sunyi spiritual. Zikir massal digelar di masjid, di lapangan, di mimbar politik. Tapi apakah ruhnya menyatu dalam perdamaian? Ataukah zikir telah berubah menjadi jubah religius bagi elite yang menutup lubang-lubang pengkhianatan?Dalam QS. Ar-Ra'd: 28, Allah berfirman: "Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang." Namun hati masyarakat Aceh belum tenang. Karena mereka masih mencari Allah dalam reruntuhan trauma, dalam suara-suara sunyi yang tidak diadili.Zikir harusnya menyatukan batin yang retak, bukan menutupi kebusukan kuasa. Zikir harusnya menjadi psikoterapi rohani. Tapi kini, ia berubah menjadi upacсага kosmetik, sementara luka rakyat belum disentuh.
Pidana Islam: Di Mana Keadilan untuk Korban?
Islam tidak hanya memaafkan; Islam menegakkan keadilan. Dalam hukum pidana Islam, qishas dan diyat bukan sekadar hukuman, tapi bentuk pengakuan atas luka dan tanggung jawah. Namun dalam dua dekade perdamaian ini, berapa pelaku pelanggaran IIAM yang diadili di Mahkamah Syariah? Berapa rumah tangga korban konflik yang mendapatkan keadilan? Aceh dijanjikan lex specialis melalui UUPA, tapi hukum kita masih ompong.Surat An-Nisa: 135 mengingatkan: "Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan." Apakah aparat dan elite Aceh mendengar ayat ini? Atau mereka lebih memilih kedamaian palsu demi kenyamanan jabatan?
Hukum Keluarga: Runtuhnya Tiang Rumah Tangga Pasca Konflik
Konflik bukan hanya merenggut nyawa; ia memusnahkan struktur psikologis keluarga. Setelah 20 tahun, banyak keluarga di Aceh hidup dalam keluarga yang diam tapi retak. Istri yang kehilangan suami; anak yang kehilangan ayah; dan ayah yang kehilangan makna hidup. Hukum keluarga Islam berbicara soal perlindungan, pemeliharaan. dan keadilan. Tapi di mana kehadiran negara saat keluarga korban trauma tidak mendapat pendampingan?Apakah Mahkamah Syar'iyah hanya sibuk mengurus perkara cerai dan warisan, tanpa memahami trauma dalam ruang keluarga yang didera PTSD selama dua dekade?
Psikologi Islam: Jiwa yang Tidak Pernah Pulih
Tgk. Muhammad Afif Irvandi El Tahiry dari Komunitas Pulih Bersama mengingatkan: "Kita terlalu cepat mengumandangkan damai, tapi terlalu lambat menyentuh luka mental manusia."Kesehatan mental bukan agenda utama dalam MOU Helsinki. Tidak ada klausul tentang terapi trauma, rehabilitasi jiwa, atau program penyembuhan kolektif.Rakyat Aceh masih dihantui: Ketakutan melihat tentara, trauma mendengar suara dentuman, anak-anak yang tidak tahu apakah ayah mereka mati atau diculik. Dalam QS. Al-Baqarah: 286, Allah berjanji: "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. "Tapi negara dan elite politik hari ini justru terus membebani masyarakat dengan beban yang tidak mereka sanggupi: beban lupa. Padahal, psikologi Islam mengajarkan bahwa penyembuhan dimulai dari pengakuan atas luka.
UUPA & MOU Helsinki: Perjanjian yang Disucikan atau Dikhianati?
UUPA dan MoU Helsinki ibarat dua lembar janji suci. Tapi janji yang tidak ditepati adalah kedustaan besar.Janji tentang keistimewaan Aceh, janji penegakan HAM, janji kedaulatan identitas-semuanya seperti lembaran kitah tua yang dijadikan simbol, bukan panduan.QS. Al-Ma'idah: 1: "Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad (perjanjian)."Jika MOU itu dianggap akad, maka pengkhianatannya adalah dosa. Dan Aceh-rakyatnya, anak-
anaknya, jandanya, pejuangnya adalah saksi hidup dari pengkhianatan yang terus dilanggengkan oleh kekuasaan pusat dan elite lokal.
Penutup: Damai Tanpa Pulih, Hukum Tanpa Nyawa
Ketua HIMAPI UIN Ar-Raniry, Sahabat Azzumardi Azra, menyatakan: "Kita harus melampaui damai administratif. Kita butuh keadilan spiritual, keadilan pidana, keadilan psikologis. Bukan hanya damai di media, tapi damai di hati dan sistem. "Perdamaian Aceh 20 tahun ini bukan akhir la bisa menjadi awal dari babak baru penghianatan-jika tak ada rekonstruksi hukum syariah, rekonsiliasi psikologís, dan pembelaan serius terhadap hak keluarga korban.Aceh tidak butuh perdamaian palsu. Aceh butuh kebenaran yang diakui, luka yang dirawat, dan jiwa yang dipulihkan. Bukan demi politik. Tapi demi amanat langit.
Penulis oleh: Sahabat Azzumardi Azra (Ketua HIMAPI UIN Ar-Raniry Banda Aceh) & Tgk. Muhammad Afif Irvandi El Tahiry (Founder Komunitas Pulih Bersama)