Pemekaran Aceh: Janji Pelayanan atau Panggung Kekuasaan?

 


Aceh | JRB.ONEWacana pemekaran wilayah administratif kembali mencuat di Aceh, menghadirkan harapan sekaligus pertanyaan. Enam calon daerah otonom baru—Aceh Raya (dari Aceh Besar), Kota Melabu (Aceh Barat), Aceh Selatan Jaya (Aceh Selatan), Selaut Besar (Simeulue), Aceh Malaka, dan Kota Panton Labu (dari Aceh Utara)—digadang-gadang sebagai solusi untuk meningkatkan pelayanan publik dan pemerataan pembangunan. Aspirasi ini muncul dari wilayah-wilayah yang merasa jauh dari pusat pemerintahan, seperti Kecamatan Tanah Jambo Aye di Aceh Utara yang mengimpikan kemudahan akses pelayanan melalui pembentukan Kota Panton Labu.

Secara teoretis, pemekaran menjanjikan efisiensi birokrasi dan kedekatan pemerintah dengan masyarakat. Perhatian yang lebih fokus pada wilayah yang selama ini terpinggirkan menjadi daya tarik utama. Namun, antusiasme ini perlu diimbangi dengan kajian yang jujur dan proporsional. Pembentukan daerah otonom baru bukanlah sekadar euforia, melainkan membutuhkan persiapan matang. Anggaran besar, infrastruktur yang memadai, dan sumber daya manusia yang kompeten adalah prasyarat mutlak. Pengalaman di berbagai daerah di Indonesia menunjukkan bahwa pemekaran tanpa fondasi yang kuat justru berujung pada stagnasi, dengan anggaran daerah terkuras untuk gaji pegawai dan operasional, alih-alih pelayanan publik.

Di sisi lain, tak dapat dipungkiri bahwa pemekaran membuka gerbang kekuasaan baru. Jabatan strategis seperti kepala daerah, anggota dewan, dan posisi dalam struktur organisasi perangkat daerah (SKPK) menjadi incaran elit lokal. Persepsi bahwa pemekaran lebih mengakomodasi ambisi politik ketimbang kebutuhan riil masyarakat kerap kali muncul, memunculkan sindiran pedas: "rakyat dapat nama, elit dapat laba."

Kendati demikian, pemekaran bukanlah momok yang selalu menakutkan. Keberhasilan dapat diraih melalui perencanaan yang cermat, kajian akademik yang mendalam, dan partisipasi tulus dari masyarakat. Nagan Raya dan Bener Meriah di Aceh dapat menjadi studi kasus menarik, di mana pembangunan berjalan meskipun tantangan fiskal dan tata kelola tetap menjadi pekerjaan rumah.

Oleh karena itu, pemekaran seharusnya dipandang sebagai instrumen, bukan tujuan akhir. Tujuannya harus jelas: menjawab kebutuhan konkret masyarakat, bukan sekadar memperluas hegemoni kekuasaan. Pemerintah pusat dan Pemerintah Aceh memiliki tanggung jawab besar untuk menyeleksi setiap usulan pemekaran dengan bijak, transparan, dan berdasarkan kajian yang komprehensif. Tanpa visi yang jelas, pemekaran hanya akan merombak peta administrasi tanpa membawa perubahan signifikan bagi kesejahteraan rakyat.

Pada akhirnya, jika kita sungguh-sungguh mendambakan Aceh yang adil dan merata, pertanyaan krusial yang perlu dijawab bukanlah lagi tentang wilayah mana yang ingin dimekarkan, melainkan tentang kesiapan kita untuk membangun dan memajukan wilayah yang sudah ada terlebih dahulu.

Penulis Oleh: Samsuir

Alumni Sekolah Menulis dan Kajian Media (SMKM-Atjeh)


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama