Banda Aceh | JRB.ONE — Dua dekade telah berlalu sejak penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki pada 15 Agustus 2005 antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Perjanjian bersejarah ini mengakhiri konflik bersenjata selama hampir tiga dekade yang telah merenggut puluhan ribu nyawa dan meninggalkan luka mendalam bagi rakyat Aceh.
Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum (DEMA FSH) UIN Ar-Raniry, Razif Al Farisy, menegaskan bahwa MoU Helsinki lahir dari penderitaan rakyat Aceh, bukan sekadar kesepakatan politik.
“Perdamaian bukan hanya berarti senjata berhenti menembak. MoU adalah janji keadilan dan kesejahteraan. Jika rakyat Aceh belum merasakan sepenuhnya, maka itu artinya pekerjaan kita belum selesai,” tegas Razif, Kamis, 14 Agustus 2025.
Selama 20 tahun implementasi MoU Helsinki, sejumlah poin telah berhasil terealisasi seperti pembentukan UU Pemerintahan Aceh, pembentukan partai lokal, dan pemilihan kepala daerah secara langsung. KKR Aceh telah dibentuk melalui Qanun No. 17/2013, meski dinilai kurang optimal karena terlambat dan minimnya partisipasi korban. Namun, beberapa janji krusial masih tertunda hingga kini, yaitu pembentukan Pengadilan HAM Aceh, transparansi pengelolaan sumber daya alam, serta penyelesaian polemik simbol daerah yang masih menjadi perdebatan.
Razif menambahkan, kegagalan merealisasikan seluruh poin MoU tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah daerah.
“MoU bukan milik segelintir politisi. Ini milik rakyat Aceh. Tentu pemerintah pusat yang menetukan dalam terpenuhinya perjanjian tersebut, tetapi efektivitas pelaksanaannya merupakan tanggungjawab pemerintah daerah dalam melaksanakan tugasnya. Pemerintah Aceh diharapkan terus melakukan evaluasi terhadap butir-butir MoU yang telah dijalankan, dan tegas dalam menuntut terlaksananya secara penuh poin-poin yang belum terpenuhi kepada pemerintah pusat. MoU tidak akan berarti jika generasi Aceh sekarang hanya diam”.[syahrul]