JRB.ONE - Fenomena viral bendera bajak laut dari anime Jepang One Piece yang kemudian memicu reaksi aparat, adalah potret buram negara yang kehilangan arah dalam memahami realitas sosial dan krisis identitas kultural. Di tengah kondisi bangsa yang sedang dilanda problem struktural—kemiskinan, pendidikan yang terkomersialisasi, ketimpangan ekonomi, korupsi merajalela, dan demokrasi yang makin formalistik—negara justru sibuk meributkan sehelai kain bergambar tengkorak fiksi.
Sebagai Ketua PMII Rayon Laksamana Malahayati UIN Ar-Raniry, Sahabat Muhammad Afif Irvandi El Tahiry saya memandang bahwa problem kita hari ini bukan terletak pada gambar tengkorak di atas bendera, melainkan pada cara berpikir negara yang panik berat terhadap simbol, namun acuh terhadap substansi. Sementara anak-anak muda zaman ini sangat mengganMuda
kan mimpi mereka pada cerita fiksi tentang bajak laut idealis yang melawan tirani, negara gagal menghadirkan teladan nyata yang bisa dicintai.
Antara Simbol, Sensor, dan Kemunduran Intelektual
Di dalam sejarah Islam, bendera atau panji bukan hanya simbol perang atau kelompok. Ia adalah penanda semangat perjuangan. Rasulullah ﷺ dalam banyak pertempuran mengibarkan panji yang menggambarkan tujuan: persatuan, keberanian, dan kemuliaan.
Namun ketika negara modern malah membidik simbol fiksi sebagai musuh ideologis, maka yang sebenarnya sedang terjadi adalah degenerasi kecerdasan negara dalam membaca zaman. Negara telah menjadi entitas yang lebih takut pada ekspresi kreatif anak muda ketimbang memerangi kezaliman sistemik yang nyata.
Apakah aparat tidak punya pekerjaan yang lebih substantif daripada memburu bendera yang bahkan tidak terkait dengan ideologi subversif apa pun,apa sebab akibat mereka memikirkan ini menjadi hal yang rumit?
One Piece dan Representasi Harapan Kaum Muda
One Piece bukan sekadar anime. Ia adalah narasi alternatif tentang kebebasan, kesetiaan, mimpi, dan perjuangan melawan ketidakadilan. Karakter Luffy, sang tokoh utama, adalah simbol perlawanan terhadap sistem yang menindas berat pada film ini. Tak heran, banyak pemuda Indonesia yang lebih terhubung secara emosional dengan cerita ini dibandingkan realitas politik di negeri sendiri.
Apakah kita harus menyalahkan mereka? Atau justru merenung: mengapa negara tidak mampu lagi menginspirasi? Mengapa tokoh-tokoh nasional makin kehilangan simpati rakyat, digantikan oleh figur-figur fiktif yang lebih jujur dan adil dalam narasi mereka?
Jika pemerintah ingin dihormati, maka buatlah kebijakan yang adil dan sesuai ajaran Nabi Muhammad SAW dan Sahabat-Sahabatnya. Jangan sibuk mengkriminalisasi imajinasi yang tidak nyata. Karena bangsa yang menindas kreativitas generasinya sendiri adalah bangsa yang sedang menggali liang kuburnya perlahan
Negara Gagal Membaca Suara Anak Muda
Alih-alih menjadi mitra dalam membangun semangat nasionalisme dan inovasi pemuda, negara justru menjadikan mereka musuh karena pakaian, poster, atau bendera. Ini adalah bentuk paling nyata dari krisis kepercayaan antara generasi dan penguasa.
Mahasiswa, pemuda, pelajar—semestinya disambut dengan ruang ekspresi, bukan dibungkam lewat stigmatisasi. Ketika negara gagal mengelola ruang kritik dan imajinasi, maka negara sedang membunuh bibit perubahan.
PMII sebagai gerakan kaderisasi dan intelektual selalu berpihak pada nilai kebebasan berpikir dalam bingkai Aswaja (Ahlussunnah wal Jama’ah) dan keindonesiaan. Kami tidak membela simbol bajak laut, tapi kami membela kebebasan berekspresi yang berakal dan bertanggung jawab serta sesuai ajaran Agama Islam yang Rahmatan Lil Alamiinn.
Penutup: Jangan Salah Musuh, Jangan Buta Arah
Bendera One Piece bukan ancaman bangsa. Yang lebih membahayakan justru adalah mental aparat yang berat akan kritik dan masukan, serta pemerintahan yang alergi pada kebebasan berpikir secara baik dan benar yang sesuai ajaran Ahli Sunnah Wal Jama'ah. Kita sedang diuji: apakah menjadi bangsa yang mampu merayakan ekspresi rakyatnya, atau menjadi negara represif yang hidup dalam paranoia.
Sudah waktunya negara berhenti menjadi pengawas simbol yang hanya dalam alam yang tidak nyata dan mulai menjadi penjaga moralitas publik yang sesungguhnya. Karena dalam sejarah panjang peradaban, yang menyelamatkan suatu bangsa bukanlah kekuasaan absolut, tapi pikiran-pikiran merdeka yang mencintai kebenaran.
Penulis oleh : Muhammad Afif Irvandi El Tahiry Ketua PMII Rayon Laksamana Malahayati Fakultas Ushuluddin dan Filsafat – UIN Ar-Raniry Banda Aceh