Lhokseumawe | JRB.ONE – Mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Sagoe Malikussaleh, Daerah II Wilayah Samudera Pasee, Misbahul alias Marcos, melontarkan kritik keras kepada Juha Cristensen dan Uni Eropa atas stagnasi penyelesaian poin-poin perdamaian Aceh, meski sudah 20 tahun sejak penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki pada 15 Agustus 2005.
“Kami menantang Juha Cristensen dan Uni Eropa sebagai fasilitator perdamaian Aceh. Jangan biarkan kesepakatan ini jalan di tempat tanpa memberikan dampak nyata bagi masyarakat, terutama dalam aspek sosial dan ekonomi,” kata Marcos, Jumat (22/8/2025).
MoU Helsinki yang ditandatangani di Finlandia pada 2005 menjadi dasar berakhirnya konflik bersenjata selama hampir tiga dekade di Aceh. Kesepakatan ini memuat poin penting, seperti pembentukan partai lokal, pengelolaan sumber daya alam Aceh secara adil, penarikan pasukan non-organik TNI/Polri, serta pembentukan Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Namun, menurut Marcos, banyak poin yang belum terealisasi. “Indonesia masih mencaplok hasil alam Aceh, baik di darat maupun di laut. Mereka pura-pura tidak tahu implementasi MoU Helsinki dan PP Nomor 23 Tahun 2015,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa pihak-pihak yang menerima Nobel Perdamaian karena peran dalam proses damai Aceh memiliki tanggung jawab moral. “Kalau kondisi ini terus dibiarkan, Nobel yang kalian terima sebaiknya dikembalikan ke PBB di New York,” ucapnya dengan nada tegas.
Marcos juga mendesak Uni Eropa segera mengirim tim khusus untuk memulai fase baru penyelesaian konflik secara damai. “Pak Juha Cristensen, jangan main api dengan Aceh. Kami punya wilayah, bangsa, bahasa, sejarah, bahkan sistem pemerintahan monarki yang harus dihargai. Jika tidak ada langkah konkret, jangan salahkan kami jika situasi di Aceh kembali memanas,” pungkasnya.[M.Jafar]