JRB.ONE - Setiap tanggal 17 Agustus, rakyat Indonesia larut dalam euforia peringatan kemerdekaan. Bendera Merah Putih berkibar di setiap sudut, anak-anak hingga orang dewasa berpartisipasi dalam berbagai perlombaan, dan pidato pejabat menggema di podium. Suasana itu memang indah, penuh semangat kebersamaan.
Namun, di balik gegap gempita itu, terselip pertanyaan mendasar: apakah kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah dan air mata para pahlawan benar-benar sudah dirasakan rakyat? Ataukah peringatan kemerdekaan hanya sebatas seremoni tahunan yang menutupi kenyataan pahit bangsa ini?
Fakta di lapangan menunjukkan, sebagian besar masyarakat masih terhimpit oleh masalah klasik: harga kebutuhan pokok yang melambung, kesenjangan sosial yang kian menganga, serta perilaku pejabat yang justru terjerat kasus korupsi. Sulit rasanya menyebut diri merdeka, ketika rakyat kecil masih terjajah oleh ketidakadilan ekonomi dan politik di negeri sendiri.
Agus Apandi Pangaribuan, Ketua Umum Komisariat Pertanian Unimal, menyebutkan bahwa kemerdekaan bukan sekadar perayaan, melainkan harus benar-benar dirasakan masyarakat kecil. Ucapannya menggugah kesadaran bahwa makna merdeka tidak berhenti pada pengibaran bendera atau perlombaan 17 Agustus.
Lebih jauh, dominasi asing di sektor strategis—mulai dari energi, pertambangan, hingga pangan—menunjukkan betapa rapuhnya kemandirian bangsa. Janji keadilan sosial dan kesejahteraan yang termaktub dalam konstitusi masih sering mandek di atas kertas.
Sejatinya, peringatan 17 Agustus adalah momentum refleksi, bukan hanya pesta rakyat. Kemerdekaan sejati seharusnya mencerminkan sila kelima Pancasila: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selama itu belum tercapai, maka kemerdekaan kita masih setengah hati.
Kita boleh saja berbangga dengan perayaan tahunan, tetapi jangan sampai terjebak pada simbolisme belaka. Bangsa ini membutuhkan lebih dari sekadar seremoni—yang dibutuhkan adalah kebijakan yang pro-rakyat, pejabat yang bersih dari korupsi, dan sistem yang berpihak pada kesejahteraan.
Jika tidak, maka 17 Agustus hanya akan menjadi hari besar yang kehilangan makna, sekadar pengulangan seremoni tanpa substansi.
Penulis : Agus Apandi Pangaribuan, Ketua Umum Komisariat Pertanian Unimal