JRB.ONE - Hari ini, terlalu banyak yang berani bicara, tapi tak berani duduk. Terlalu banyak yang sibuk memimpin, tapi lupa merangkul. Terlalu banyak yang berceramah, tapi tak tahu dari siapa ia belajar.
Zaman ini dipenuhi oleh para pemimpin yang kehilangan kepekaan dan para penyeru agama yang kehilangan guru. Akibatnya, umat ini limbung: organisasi hancur dari dalam, dan akidah tercerabut dari akarnya.
Jika pemimpin tidak tahu caranya membangun rasa, maka dia hanya sedang menjalankan kekuasaan—bukan kepemimpinan. Dan jika pendakwah tak punya sanad, maka yang ia sebarkan bukan ilmu, tapi fitnah berjubah dalil.
“Organisasi tidak hancur karena miskin dana. Tapi karena miskin rasa.” “Umat tidak rusak karena kurang dalil. Tapi karena kebanjiran suara yang tak punya guru.” — Tgk. Muhammad Afif Irvandi El Tahiry
Pemimpin Bisu, Aktivis Kaku
Pemimpin hari ini terlalu banyak rapat, tapi sedikit mendengar. Komando dikeluarkan tanpa komunikasi. Kritik dianggap musuh. Rapat diwarnai formalitas kering tanpa sentuhan emosi.
Allah SWT berfirman: “Dan berundinglah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS. Ali 'Imran: 159).
Tapi ayat ini tak lagi punya tempat dalam ruang musyawarah kita yang beku dan birokratis. Rasa kebersamaan sudah mati digantikan intruksi satu arah.
Abon Seulimum pernah mengingatkan:
“Kalau hatimu belum lembut, jangan bicara soal memimpin.”
Abu Seulimum berkata:
“Pemimpin itu penyejuk, bukan penekan. Jangan kau kira semua bisa selesai dengan jabatan.”
Rapat yang hampa komunikasi hanya melahirkan organisasi yang cepat pecah. Ibarat bangunan megah yang retak dari fondasinya.
Ilmu Tanpa Sanad: Jalan Pintas Menuju Kesalahan Massal
Di media sosial, kita temukan ribuan video ceramah. Tapi dari siapa mereka belajar? Di mana sanadnya? Siapa guru yang membimbing akhlaknya?
Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi.” (HR. Abu Dawud)
Tapi hari ini, pewarisan itu diremehkan. Ilmu dianggap cukup lewat tontonan, bukan tuntunan. Ceramah dikira cukup dari suara yang lantang, bukan dari sanad yang terang.
Abuya Muda Waly mengingatkan:
“Jangan ambil ilmu dari yang tidak bersanad. Itu seperti minum dari air keruh yang tampak jernih.”
Prof. Dr. Farid Wajdi, cendekiawan dan mantan Rektor UIN Ar-Raniry, menyatakan:
“Umat ini kehilangan arah karena lebih mendengar suara bising dari media, daripada suara lembut dari guru.”
Inilah kejatuhan peradaban: ketika umat lebih percaya kepada viral daripada kepada mursyid. Lebih tunduk pada algoritma daripada sanad.
Ini Zaman Bahaya: Komunikasi Mati, Ilmu Terputus
Organisasi akan hancur jika pemimpinnya beku hati. Umat akan tersesat jika ilmunya tak bersambung.
Dua dosa besar zaman ini adalah:
Memimpin tanpa empati
Berceramah tanpa sanad
Kaidah ushul fikih menyatakan: “Ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib” "Apa yang tak bisa menyempurnakan kewajiban kecuali dengannya, maka ia juga menjadi wajib."
Jika menuntut ilmu adalah wajib, dan tak bisa sempurna tanpa guru yang bersanad, maka berguru kepada ulama Aswaja adalah kewajiban yang tak bisa ditawar.
Seruan Terbuka: Kembalilah ke Ulama, Bangun Ulang Komunikasi
Kepada para pemimpin muda, aktivis organisasi, dan para pencari ilmu:
Jangan kau pimpin organisasi kalau tak bisa mendengar yang kecil dan lemah.
Jangan kau bicara agama kalau tak pernah sujud di hadapan guru yang mursyid.
Jangan kau pakai ayat untuk menyerang, sebelum kau memahaminya dengan adab.
“Kalau tak bisa jadi ulama, jadilah pecinta ulama. Kalau tak bisa memimpin dengan cinta, jangan wariskan luka.”
Sudah cukup kita melihat organisasi besar hancur oleh konflik internal. Sudah cukup umat ini pecah karena diseret oleh suara-suara yang tak bersanad. Sudah waktunya kembali—kepada akhlak, kepada ilmu yang bersambung, dan kepada jalan para pewaris nabi.
Penulis oleh : Tgk. Muhammad Afif Irvandi El Tahiry Pendiri Komunitas Mahasiswa Peduli Dayah (KMPD)