Empat Pulau Digeser ke Sumut, Permahi: Jangan Bangunkan Singa Tidur


Banda Aceh | JRB.ONE – Polemik pemindahan empat pulau dari Aceh ke Sumatera Utara memicu gelombang protes. Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) Wilayah Aceh mengecam keras keputusan pemerintah pusat yang dinilai melanggar hukum dan mengkhianati semangat perdamaian Aceh.

Empat pulau yang dipersoalkan—Pulau Panjang, Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, dan Pulau Lipan—selama ini secara administratif dan historis berada di bawah kewenangan Pemerintah Aceh. Namun lewat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, keempatnya “digeser” ke Sumatera Utara tanpa proses perundingan.

“Ini bukan sekadar pergeseran wilayah. Ini bentuk pengkhianatan terhadap perdamaian. Pemerintah pusat gagal menunjukkan keadilan dalam mengelola wilayah negara,” tegas Rifqi Maulana, S.H., perwakilan Permahi Aceh, Jumat (13/6).

Menurut Rifqi, dasar hukum yang mengatur batas wilayah Aceh sudah jelas, yakni Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang pembentukan Provinsi Aceh. UU tersebut diperkuat oleh berbagai regulasi turunan, termasuk Pasal 114 yang menyatakan bahwa batas provinsi tetap mengacu pada ketentuan yang berlaku sejak 1 Juli 1956.

“Keputusan menteri tidak bisa membatalkan undang-undang. Secara hukum, Kepmen itu cacat dan batal demi hukum,” ujarnya.

Tak hanya secara hukum, keempat pulau itu juga telah lama dikelola Pemerintah Aceh, bahkan mendapat alokasi dana dari APBD sejak 2007.

“Ini pelanggaran terang-terangan terhadap konstitusi dan semangat otonomi khusus. Jika terus dibiarkan, ini berpotensi merusak stabilitas dan kepercayaan yang menjadi fondasi perdamaian Aceh,” tambah Rifqi.

Permahi juga menolak segala bentuk justifikasi teknis seperti peta topografi versi militer atau dalih administratif lainnya.

“Ketika undang-undang sudah bicara, maka semua dalih teknis hanyalah cara membenarkan pelanggaran,” tegasnya.

Lebih jauh, Rifqi menegaskan bahwa bagi rakyat Aceh, tanah bukan hanya aset geografis, tetapi bagian dari identitas dan harga diri. Pergeseran sepihak wilayah bukan hanya mengoyak peta, tapi juga melukai batin masyarakat.

“Kami tidak bicara dengan emosi. Ini soal sejarah panjang dan perjuangan berdarah. Jangan main-main dengan kesepakatan damai Aceh. Jangan bangunkan singa yang tidur,” pungkasnya.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama