Konflik Lahan Babahrot Memanas: Forbina Dukung Petani Gugat Gubernur Aceh di PTUN

 


BANDA ACEH | JRB.ONE – Babak penting dalam sengketa agraria di Babahrot, Aceh Barat Daya, bergulir di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda Aceh. Sebanyak 28 kelompok tani yang menggugat Gubernur Aceh terkait penerbitan Izin Usaha Perkebunan Budidaya (IUPB) seluas 2.600 hektar kepada PT Dua Perkasa Lestari (DPL), mulai memasuki tahap pembuktian pada sidang yang digelar Rabu (7/5/2025).

Dalam persidangan tersebut, kelompok tani menghadirkan saksi-saksi untuk memperkuat argumentasi gugatan mereka. Penerbitan izin oleh Gubernur Aceh dinilai cacat prosedur dan mengabaikan hak masyarakat lokal yang telah mengelola lahan di Desa Pante Cermin selama puluhan tahun. Sebelumnya, kuasa hukum petani telah menyerahkan 79 dokumen sebagai bukti. Simpati dan dukungan terhadap perjuangan petani terlihat jelas dengan kehadiran hampir seratus warga, termasuk kaum perempuan, di ruang sidang.

Salah seorang anggota kelompok tani mengungkapkan keprihatinannya usai sidang. "Tanah yang sudah kami garap turun-temurun tiba-tiba berubah status. Lebih menyakitkan lagi, sawit bantuan pemerintah yang kami tanam sendiri ditebang begitu saja tanpa ada pembicaraan atau ganti rugi," ujarnya dengan nada kecewa.

Koperasi Sawira, wadah bagi kelompok tani tersebut, menyoroti bahwa penerbitan izin kepada PT DPL tidak melibatkan konsultasi publik yang memadai, kurang transparan, dan bertentangan dengan prinsip partisipatif dalam kebijakan tata ruang dan pemanfaatan sumber daya agraria.

Muhammad Reza Maulana, S.H., dan Munardi, S.H.I., kuasa hukum kelompok tani dari MRM Law Firm, menegaskan bahwa tindakan Gubernur Aceh telah merampas akses masyarakat terhadap lahan produktif mereka, menghancurkan mata pencaharian, dan berpotensi memperuncing konflik agraria di wilayah Babahrot.

Direktur Forum Bangun Investasi Aceh (ForBINA), Muhammad Nur, S.H., turut memberikan dukungan kepada para petani. Ia menyatakan bahwa gugatan ini bukanlah upaya untuk menghambat investasi, melainkan sebuah koreksi terhadap tata kelola perizinan yang bermasalah.

"Apa yang diperjuangkan oleh kelompok tani Babahrot ini adalah bagian dari upaya penegakan keadilan dan perbaikan tata kelola sektor perkebunan di Aceh. Kasus ini seharusnya menjadi momentum untuk evaluasi menyeluruh terhadap izin-izin perkebunan di seluruh Aceh, sejalan dengan visi evaluasi perizinan oleh pasangan Mualem-Dek Fad," tegas Muhammad Nur.

Lebih lanjut, Muhammad Nur mengungkapkan bahwa konflik serupa juga terjadi di berbagai daerah lain di Aceh, seperti Aceh Selatan, Singkil, Subulussalam, Bireuen, hingga Aceh Tamiang. Di wilayah-wilayah tersebut, warga lokal kehilangan lahan, bahkan mengalami kriminalisasi, akibat buruknya pengelolaan investasi perkebunan.

ForBINA mendesak seluruh elemen masyarakat Aceh untuk memberikan dukungan kepada perjuangan para petani Babahrot demi terwujudnya keadilan agraria yang berpihak kepada rakyat.

"Investasi seharusnya tidak mengorbankan hak-hak rakyat. Pembangunan yang sesungguhnya harus menghormati hak-hak masyarakat lokal, bukan justru merampasnya," pungkas Muhammad Nur dengan nadaSolidaritas.[Muhammad]

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama