Berantas Secara Sistematis Kasus Pelecehan Seksual


JRB.ONEPELECEHAN seksual ialah tindakan yang tidak diinginkan oleh seseorang yang mengarah kepada seksual baik itu secara verbal, fisik, dan non-verbal. Segala bentuk tindakan yang mengganggu orang lain dan membuatnya tidak nyaman (dalam ranah seksual) maka itu sudah disebut sebagai pelecehan. 

Hal ini menjadi ancaman besar bagi negara dalam memberikan kenyamanan dan keamanan bagi masyarakatnya. Pelecehan tidak hanya terjadi pada perempuan tapi juga dapat terjadi pada laki-laki. 

Saat ini, masyarakat banyak yang tidak menghiraukan, mengolok-olok, bahkan menertawakan laki-laki yang melaporkan tindakan yang tidak mengenakan tersebut. 

Meskipun begitu, korban pelecehan seksual banyak terjadi pada perempuan. Hal dibuktikan pada data UN Women yaitu, 1 dari 3 wanita dan Komnas Perempuan melaporkan 70% perempuan pernah merasakan pelecehan seksual ketika berada dilingkungan sekitar. 

Tidak hanya diluar, pelecehan bahkan kekerasan seksual dapat terjadi didalam rumah oleh anggota keluarga. Salah satu faktor terjadinya pelecehan seksual dalam keluarga disebabkan budaya patriarki. Patriarki adalah sebutan sosial masyarakat yang merujuk pada laki-laki yang lebih dominan dalam mengambil sebuah keputusan dan mengambil alih peran kekuasaan. 

Pada umumnya laki-laki memang memiliki kewibawaan dalam memimpin, namun terkadang keegoisan dalam memimpin membuatnya ingin mengambil sebuah keputusan tanpa pertimbangan orang lain bahkan memandang rendah pendapat orang lain terutama perempuan. Sikap seperti inilah yang menjadi salah satu faktor mengapa pelecehan kerap terjadi pada perempuan. Karena laki-laki menganggap wanita adalah makhluk yang lemah dan dapat diperintah sehingga mudah bagi laki-laki dalam menuntut, membujuk dengan rayuan, hingga memaksa korban untuk melakukan aksinya tersebut. Jika dulu aksi seperti ini hanya dilakukan oleh orang dewasa, saat ini berbanding terbalik. 

Dalam sebuah kasus menyatakan bahwa ada seorang anak SMP yang mencabuli anak SD. Hal ini menunjukan pentingnya edukasi kepada anak-anak akan hal tersebut. Orang tua dan guru bahkan pemerintah harusnya memberikan sebuah upaya dalam memberitahukan organ tubuh apa saja yang tidak boleh disentuh oleh orang lain. Dibawah bimbingan orang tua dan guru seharusnya anak juga diberi pemahaman bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan juga mempunyai batas dalam bergaul.

Di Indonesia justru korban pelecehan seksual dianggap sebagai pelaku utama dalam hal ini. Kejadian ini biasanya disebut dengan victim blaming, yaitu sikap yang menyalahkan, menyudutkan, serta menganggap korban yang harus bertanggung jawab dalam hal ini. Salah satu contohnya ialah, perempuan yang disalahkan karena memakai baju yang terbuka. Padahal data menunjukan pada tahun 2018, yang mengenakan lengan Panjang (15,82%) baju longgar (13,80%), hijab pendek dan sedang (13,20%), hijab Panjang (3,68%), bahkan berhijab dan bercadar (0,17%) menurut survei Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA). Melalui data ini jelas bahwa korban tetaplah korban dan bukan tersangka atas kasus ini. Tapi tidak dapat dipungkiri di Indonesia yang menjadikan faktor pelecehan, ada dalam satu paket menyudutkan korbannya. Padahal korban saat itu perlu untuk dilindungi, ditemani, dan didengarkan karena trauma yang dialaminya, bukan malah disudutkan. 

Perlindungan pada korban juga sudah ada dalam UU No.13 tahun 2006 mengenai perlindungan saksi dan korban. Tapi anehnya mengapa korban terkadang mendapatkan perlakuan tidak mengenakan bahkan diberi labeling orang tidak benar. Bukankah korban tetaplah korban seperti pada kalimat di atas.

Dari faktor-faktor pemicu pelecehan seksual yang dipaparkan di atas maka solusi yang ditawarkan ialah mengenai kesadaran masyarakat umum dan wewenang pemerintah dalam menangani permasalahan tersebut. 

Perlunya efek jera bagi pelaku pelecehan seksual yang menimbulkan akibat enggan berbuat hal demian pada waktu yang akan datang. Hal ini juga mampu mendorong orang lain untuk tidak melakukannya karena takut terhadap konsekuensi yang didapatkannya. Masyarakat juga harusnya terus melindungi korban bukan justru memaksa korban untuk mengungkit dan menambah trauma yang dialami. Pelecehan seksual bukan terjadi karena pakaian yang digunakan korban. Oleh karenanya perlu diberantas secara sistematis.

Penulis: Ririn Dayanti, Mahasiswi Tadris Bahasa Indonesia, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Lhokseumawe

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama