Geger di PEMA: Kepemimpinan Otoriter dan RUPS di Medan Jadi Sorotan Tajam


Aceh | JRB.ONE – Gelombang kritik pedas menghantam PT. Pembangunan Aceh (PEMA), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang diharapkan menjadi lokomotif perekonomian Aceh. Pemicunya adalah surat terbuka yang dilayangkan para pegawai kepada Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, yang mengungkap kondisi internal perusahaan yang memprihatinkan sejak Mawardi Nur menduduki kursi Direktur Umum.

Surat yang oleh internal PEMA dijuluki "surat cinta" itu berisi keluhan mendalam terkait gaya kepemimpinan Mawardi Nur. Ia dituding menjalankan perusahaan secara otoriter dan tidak profesional, termasuk melakukan intimidasi verbal kepada jajaran direksi dan karyawan. Selain itu, Mawardi disebut enggan menerima masukan konstruktif serta mengabaikan dokumen pendukung yang relevan. Kedekatannya dengan petinggi daerah kerap dijadikan alasan pembenaran atas setiap keputusannya.

Lebih lanjut, para pegawai mengungkapkan bahwa Mawardi Nur cenderung tertutup dalam urusan pekerjaan dan proyek perusahaan. Ia hanya mempercayai segelintir karyawan dekat dan seorang pengurus partai pengusung yang aktif mendampinginya, sementara pihak-pihak internal yang seharusnya terlibat dalam pengambilan keputusan justru dipinggirkan. Kondisi ini dinilai menyebabkan arah kebijakan dan keputusan proyek menjadi tidak sistematis dan tanpa strategi yang matang.

Tak hanya itu, Mawardi Nur juga disorot karena diduga menunda kewajiban pembayaran dan investasi perusahaan serta anak usahanya terhadap proyek-proyek yang telah direncanakan. Penundaan ini disinyalir terjadi akibat perbedaan pendapat dengan salah satu direktur dan adanya pengaruh dari pihak eksternal yang tidak memiliki jabatan struktural di perusahaan.

Ironisnya, retorika publik Mawardi Nur yang seringkali menyatakan ambisinya untuk menjadikan PT. PEMA sebagai motor penggerak ekonomi Aceh justru berbanding terbalik dengan kenyataan. Bukti paling mencolok adalah pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PEMA yang baru-baru ini digelar di Ballroom Hotel Adimulia, Medan. Keputusan ini menuai kecaman karena dianggap tidak menghargai keberadaan perusahaan di Aceh dan potensi kontribusinya terhadap perekonomian lokal.

"Ini perusahaan milik rakyat Aceh, tapi kenapa RUPS-nya malah diadakan di luar Aceh? Bagaimana mungkin PEMA bisa menggerakkan ekonomi daerah jika langkah simbolis dan strategis seperti ini justru dilakukan di provinsi lain?" ujar seorang pegawai PEMA dengan nada kecewa.

Para pegawai berharap surat terbuka ini menjadi alarm bagi pemegang saham utama dan Gubernur Aceh untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kepemimpinan PT. PEMA. Mereka khawatir jika kondisi ini terus berlanjut, dampaknya akan semakin merugikan pembangunan ekonomi Aceh secara keseluruhan.[Muhammad]


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama